Oleh
: Kisworo*)
Lahirnya
UU No 14 tahun 2005 pada hakekatnya
adalah mengangkat
kembali harkat dan martabat profesi guru, karena sudah cukup lama profesi ini terdlolimi oleh kebijakan dan sering
dipandang secara inferior terlalaikan
perhatiannya dibandingkan dengan profesi lainnya. Namun dalam perjalanannya cukup banyak persoalan yang
bagi guru dianggap tidak sesuai harapan. Pemerintah seolah-olah tergesa-gesa
menagih hasil tanpa terlebih dahulu menyelesaikan hak-hak guru yang belum
terpenuhi. Minimal ada dua wacana yang cukup meresahkan guru antara lain rencana
penundaan tunjangan dan penambahan beban jam pelajaran guru dari 24 jam/minggu
menjadi 27,5 jam/minggu.
Kebijakan ini dianggap kontra
produktif seolah-olah kebijakan yang berpacu dengan problem persoalan lain yang
belum terselesaikan. Persoalan tersebut adalah masih banyak guru yang belum
memperoleh kuota proses sertifikasi. Pencairan tunjangan yang tersendat-sendat
dan tidak akuntabilitas diterimakannya secara utuh karena alasan pemerataan
dana yang terbatas. Yang kedua mobilitas guru untuk memenuhi beban jam mengajar
24 jam/minggu tanpa diimbangi dengan regulasi pemetaan guru yang matang
sehingga guru hilir mudik dengan susah payah mencari pemenuhan jam mengajar
sendiri, menguras energi dan menurunkan produktifitas guru. Bahkan cukup banyak
guru yang pasrah tidak menerima tunjangan karena tidak bisa memenuhi beban
tersebut. Sehingga penambahan 27,5 jam akan lebih menambah deretan panjang persoalan
kebijakan guru.
Kebijakan yang digulirkan di
atas meja tanpa melihat realitas di lapangan sering tereduksi menjadi keputusan
yang tidak seimbang. Jika kita sepakat guru menjadi sebuah pekerjaan profesi
semestinya kinerjanya diukur secara professional. Makna 24 jam tentunya bukan
harus menatap dengan mata anak-anak di kelas selama beban jam pelajaran tersebut,
tetapi kegiatan membuat rencana pelajaran, mengoreksi ulangan harian, membuat
program remidial, melakukan pengayaan, membimbing ekstrakurikuler, menambah
tambahan jam pelajaran dan mengikuti kegiatan profesi MGMP dan lain-lain dapat
dikonversikan menjadi pemenuhan beban tersebut. Ketika persoalan ini sudah
dilakukan maka sudah semestinya pemerintah menagih produktivitas guru dengan
regulasi kinerja secara kontinue.
Semua harus mawas diri
termasuk guru, bahwa masih ada guru yang rendah produktifitasnya memang benar
adanya. Pasca sertifikasi, guru harus punya kemandirian yang tinggi , dengan
kemampuan sendiri ia mengunjungi perpustakaan, mengikuti program-program
pengembangan, mengadakan peninjauan, mengadakan kajian, menyuarakan hati
nuraninya, dan berpartisipasi luas di dalam usaha peningkatan mutu sekolah
khususnya dan pendidikan umumnya. Problemnya adalah sudahkah pemerintah memberi
iklim guru untuk menjadi angkatan profesional yang mandiri, bukan sebagai
kelompok passif yang diatur di dalam berbagai parameter yang tradisional,
parameter yang diputuskan berlaku bagi semua guru, untuk semua murid, di dalam
situasi yang bagaimanapun, dan di sepanjang zaman! Pendekatan ini jelas akan
menutup semua jalan bagi guru untuk maju! Dan yang terpenting indikator kinerja guru jangan
hanya dianggap sebatas membaca koran !
*)
Kisworo,SPd
Kepala SMP 4 Semin dan Pengurus
PGRI
kabupaten Gunungkidul. DIY
P Bakrie....p Bakrie....
BalasHapus