Ada pengalaman yang patut direnungkan bagi saya pribadi ketika pengumuman kelulusan hasil ujian nasional tahun lalu. Tersebutlah seorang siswi, oleh sebagian teman-teman guru dipandang termasuk dalam katagori kelompok siswa rawan tidak lulus dengan skala konversi yang diterapkan pemerintah. Memang cukup berat bagi sekolah kami di pinggiran dengan input yang terbatas. Tetapi dari aspek lain ada satu sisi yang menarik dari siswi tersebut, yaitu dia tahu betul akan keterbatasannya dibandingkan dengan teman-temannya. Seperti biasa dalam menghadapi ujian, sekolah menyelenggarakan banyak program baik yang bersifat akademik maupun sentuhan motivasi, tak terkecuali sentuhan rohani menghadapi jiwa-jiwa yang resah menghadapi Unas.
Tibalah saatnya hasil ujian diumumkan akhirnya siswi tersebut lulus bahkan masuk dalam sepuluh besar perolehan nilai ujiannya. Semua guru menjabat tangannya memberi selamat atas keberhasilannya. Salah satu teman guru menyapa “ Selamat ya nak, doa kamu terkabulkan untuk lulus?”. Siswi tersebut menjawab “ Terima kasih pak atas semua bimbingannya, tapi doa saya pada Allah bukan kelulusan, saya hanya berdoa agar tidak menangis jika aku tidak lulus”. Semua lantas terdiam, seketika saya menjabat lagi tangan anak tersebut dan menepuk bahunya, lantas anak tersebut tersenyum dan berlari untuk berbaur lagi dengan teman-temannya.
Anak anak tampaknya mempunyai kebijaksanaan dibandingkan kita semua. Ia ternyata tidak memohon kepada Tuhan untuk selalu menang dalam setiap ujian. Ia tidak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Ia juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk juara dan mengalahkan temannya. Namun ia memohon Tuhan agar diberi kekuatan, saat menghadapi itu semua. Ia berdoa agar diberi kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
Bandingkan dengan doa kita setiap mempunyai keinginan! Mungkin telah banyak waktu yang kita lakukan berdoa pada Tuhan untuk selalu mengabulkan setiap permintaan kita. Doa yang seolah-olah menuntut akan haknya sebagai hamba-Nya untuk dikabulkan. Maka tak heran dalam setiap lini kehidupan banyak orang yang tidak siap untuk kalah tetapi hanya siap untuk menang dengan segala cara. Dampak psikologisnya adalah pola-pola yang destruktif, mutungan dan berusaha mengubah struktur tatanan hukum yang sudah disepakati bersama. Sebut saja dalam proses mobilitas jabatan, pemilihan kepala daerah, pemilihan ketua partai, kompetisi perebutan tender proyek, dan lain sebagainya. Yang lebih parah jika individu tersebut melakukan pembusukan dari dalam. Bayangkan jika itu terjadi di suatu komunitas tertentu, baik itu sekolah, organisasi, institusi bahkan skala pemerintah. Hal ini bukan saja akan menghambat tujuan bersama, tetapi akan menjadikan kehidupan organisasi dan pemerintah tidak lagi produktif dan efektif di mata publik.
Bersyukur saya bisa dibukakan hatinya oleh siswi saya tersebut. Lantas menjadi ingat kutipan ustad yang setiap pagi saya lihat lewat televisi, terlalu sering kita berdoa pada Tuhan untuk menjauhi segala halangan, cobaan dan rintangan di depan kita. Padahal yang kita butuhkan adalah bimbingan-Nya. Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Tuhan memberi ujian kepada kita bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Sesungguhnya Tuhan sedang menguji kepada hamba-Nya yang sholeh. Terima kasih Martini !!
*) Kepala Sekolah SMP 4 Semin
Makasih pencerahanya..
BalasHapus