}

Kepala Sekolah dan Penuntasan Wajib Belajar


Oleh : Kisworo,SPd*)

Di suatu forum diskusi ilmiah diklat penguatan kepala sekolah SMP yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional ada pembicaraan menarik antar kepala sekolah tentang bagaimana menjadi kepala sekolah yang super. Tolok ukur yang dibidik untuk kriteria menjadi kepala sekolah super adalah bagaimana menerima murid sebanyak-banyaknya, memiliki fasilitas sekolah sehebat-hebatnya, menghasilkan lulusan dengan kualitas setinggi-tingginya dan dengan biaya semurah-murahnya bahkan jika perlu semua biaya gratis.
Ketika diskusi berlangsung secara alamiah masing-masing peserta terkonsentrasi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah kepala sekolah yang memegang sekolah dengan jumlah murid yang banyak dengan fasilitas yang sudah memadahi, biasanya sekolah yang berstandar Internasional dan Nasional (RSBI dan SSN). Kelompok kedua adalah kepala sekolah yang memegang sekolah dengan siswa yang cukup banyak dan fasilitasnya sudah mapan tetapi manajemen pengelolaannya masih perlu ditingkatkan. Biasanya masuk dalam katagori sekolah rintisan standar nasional dan mandiri. Kelompok terakhir adalah kepala sekolah yang hanya memiliki siswa sedikit dengan fasilitas yang masih minim dan terdapat dalam kantong-kantong wilayah pinggiran. Sekolah ini biasanya bekas sekolah satu atap dengan segenap persoalannya dalam rangka memenuhi standar pelayanan minimal untuk masyarakat.
Kelompok pertama dan kedua secara guyon sering memberikan label SSN kepada kelompok ketiga yaitu Sekolah Sangat Nelongso. Hal ini dikarenakan perbedaan yang cukup mencolok dari kondisi yang ada dibandingkan dengan sekolah kelompok kedua dan ketiga. Tetapi ada satu hal yang sangat menarik bagi kepala sekolah kelompok ketiga bahwa mereka sepakat dan sadar betul bahwa wilayah yang dia pegang memang merupakan terjemahan dari kebijakan pemerintah dalam mewujudkan tiga pilar kebijakan pembangunan pendidikan. Pilar tersebut salah satunya adalah mewujudkan pemerataan & perluasan akses pendidikan. Mereka sadar betul bahwa anak-anak pinggiran memang berhak dan wajib untuk dilayani dengan mengoptimalkan daya tampung sekolah yang tersedia dan dengan mengembangkan pendidikan dasar terpadu (SD-SMP satu atap) di daerah-daerah terpencil. Sehingga tolok ukurnya bukan sebanyak-banyaknya menerima murid tetapi membidik anak-anak di sekitar magersari sekolah yang belum terlayani pendidikan. Inilah maknanya meningkatkan ketuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun serta perintisan wajib belajar 12 tahun.
Kondisi fasilitas yang terbatas memang benar adanya maka paradigma sekolah kelompok ketiga seharusnya bukan memiliki fasilitas sehebat-hebatnya tetapi bagaimana mampu mengoptimalkan fasilitas sekolah sehebat-hebatnya. Input sekolah yang masih rendah menjadi kendala lain dari sekolah tersebut dalam konteks kelulusan. Maka paradigma yang di usung adalah produktifitas pembelajaran. Produktifitas bukan berarti pencapaian kelulusan yang ditempuh dengan menggunakan segala cara yang haram dan tidak elegan, akan tetapi harus lebih berorientasi dalam proses pengelolaan kelas. Makna produktif bukan pencapaian kuantitatif spektakuler berwujud  angka, tetapi produktif hasil yang diperoleh dari proses pembelajarannya. Lebih produktif manakah ketika input masuknya 8 keluarnya 8,5 dibandingkan dengan masukannya 5 keluaran-nya 7? Jadi tema yang di usung dalam penuntasan wajib belajar adalah perjuangan menekan jumlah anak mengulang dan putus sekolah melalui: sekolah gratis, pemenuhan kondisi minimal untuk belajar, dan peningkatan efektivitas pembelajaran.
Berdasarkan Evaluasi Diri Sekolah (EDS) yang telah dikalkulasikan, dalam dimensi pemenuhan 8 standar pendidikan nasional memang sekolah tersebut hanya mampu memenuhi sebagian saja, oleh sebab itu dibutuhkan kepala  sekolah yang berjiwa transformasional bukan kepala sekolah transaksional. Perilaku transformasional diharapkan mampu melakukan transformasi perilaku organisasi yang cenderung status quo. Lihatlah perbedaan tema-tema pembicaraan antara kepala sekolah transaksional dan transformasional yang kadang tercelutuk dalam diskusi in-formal. Tipe transaksional berbicara dia dapat apa, dalam melakukan sesuatu yang kadang berorientasi pada profit. Berbeda dengan jiwa transaksional, tema yang dibicarakan kepala transformasional biasanya tidak terlepas dari problem kreatifitas pelayanan minimal yang harus dikembangkan di sekolah.
Bahwa kemajuan peningkatan wajib belajar akan berhasil jika kepala sekolah memiliki jiwa transformasional semestinya dibarengi dengan dukungan kebijakan pemerintah daerah yang bersahabat dengan anak-anak yang kurang beruntung (disvantage children). Anak–anak tersebut biasanya berada di wilayah kantong-kantong pinggiran yang secara sosial –ekonomi masih membutuhkan pengembangan mobilitas bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya. Penuntasan wajib belajar dalam pendidikan harus dipandang sebagai investasi manusia dan kemanusiaan. Kepala sekolah harus tahu ilmu sosial tetapi yang lebih penting lagi adalah paham dan tahu akan makna persoalan sosial.

*) Kisworo,SPd
                                                                               Kepala Sekolah SMP 4 Semin
                                                                               Gunungkidul.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kepala Sekolah dan Penuntasan Wajib Belajar"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar Anda yang santun sebagai tanda mata persinggahan Anda, terimakasih